07 August 2010

Menelusuri Asal Muasal Bahasa Jimirosa


Bermula Sebagai Sandi Harga untuk Para Pedagang Sepeda

Tak banyak yang tahu jika di Kecamatan Mojosari, Kabupaten terlahir sebuah bahasa yang saat ini akrab dipakai sejumlah kelompok masyarakat. Seputar Indonesia mencoba menelisik asal muasal bahasa. Berikut laporannya.


BERADA di bagian timur wilayah Kabupaten Mojokerto, Kecamatan Mojosari memiliki banyak potensi. Lantaran itu, beberapa kantor pemerintahan mulai dipindahkan ke wilayah ini. Dari sisi ekonomi dan sosial, Kecamatan Mojosari memang memiliki kelebihan dibanding kecamatan lainnya.
Beberapa ruas jalan di kota kecil ini menjadi sentra perdagangan. Salah satunya adalah Jalan Niaga. Sesuai dengan namanya, denyut perdagangan sangat terasa di jalan ini. Hampir semua bangunan yang berjajar adalah pertokoan. Nah, di jalan inilah asal muasal Bahasa Jimirosa itu terlahir dari kelompok kecil masyarakat.
Sekitar tahun 1970 silam, tepatnya di Kelurahan Sawahan, berdiri sebuah Pasar Dagang Sepeda (PDS). Tahun itu, sepeda angin masih menjadi alat transportasi yang paling diminati. Tak ayal, bisnis jual-beli sepeda itu terus berkembang dan memunculkan pelaku-pelaku baru di bidang ini.
Rupanya, ramainya pembeli membuat sejumlah pedagang berpikir kreatif. Untuk melancarkan usahanya itu, mereka memilih trik. Salah satunya dengan memakai sandi atas harga sepeda yang dijual. Tentunya, sandi ini hanya berlaku antar pedagang dan pelayan toko dengan majikannya. ”Agar pembeli tak tahu berapa harga dasar. Ini untuk menentukan laba yang diambil. Biasanya komunikasi dengan sandi ini antara pemilik dan pelayan toko,” kata Samsul Hadi, 41, warga Kelurahan Sawahan, Kecamatan Mojosari.
Lantas siapa yang pertama kali mencetuskan ide sandi yang hanya menyebut angka ini? Samsul Hadi mencoba mengingatnya. Dan jatuhlah pada nama dua pedagang sepeda, Abdul Madjid dan Atim Nawawi (alm). Dua orang inilah yang memberi sandi angka itu. ”Kotis, Widi, Nggida, Piit, Mila, Noam, Juuh, Ledipin, Mbelisan, Lesupuh,” terang Samsul Hadi menyebut sandi angka mulai satu hingga sepuluh.
Dua tahun berjalan, sandi ini sudah dipakai semua pedagang dan para pelayan toko. Juga para makelar yang tak ingin pembelinya tahu berapa harga dasar sepeda yang bakal dijual. Hingga PDS itu berpindah tempat di Jalan Niaga—yang sampai saat ini masih berdiri—sandi ini menjadi sandi rahasia bagi para pedagang. ”Pakem bahasa ini memang berasal dari sana (PDS),” tegasnya.
Bahasa Jimirosa terus beredar di kalangan kelompok masyarakat lainnya. Selain di PDS, bahasa ini mulai banyak digunakan sejumlah pedagang di Pasar Tradisional Mojosari. Tak hanya itu, para sopir, kenek dan makelar di terminal Mojosari juga tertarik menggunakan bahasa yang berpakem pada ”balikan” bahasa Jawa tak beraturan itu. Meski untuk memahami bahasa ini tak mudah.
Banyaknya kelompok masyarakat yang mulai menggunakan bahasa ini, memunculkan pakem baru. Bahasa Jimirosa tak hanya berkutat pada angka. Namun berkembang menjadi dialog. Praktis, mulai muncul istilah baru dari para sumber yang tak jelas datangnya dari mana. ”Misalnya lebiking. Bahasa itu sering dipakai sopir untuk meminta keneknya memberikan tempat duduk di belakang kepada penumpang,” tambahnya.
Hingga saat ini, hampir semua dialog bisa diterjemahkan dalam bahasa Jimirosa. Lagi-lagi, Hadi tak bisa menyebut siapa saja yang menjadi pencetus pakem lain dari pakem PDS itu. ”Dan memang tak ada kamusnya. Dari mulut ke mulut, bahasa ini menjadi akrab di telinga masyarakat Mojosari,” katanya.
Bahasa Jimirosa memang sejauh ini menjadi bahasa lokal yang tak banyak diketahui masyarakat di luar Kecamatan Mojosari. Kecuali bagi mereka yang bergelit di PDS, pasar tradisional dan terminal. Khusus di Kelurahan Sawahan, hampir rata-rata pemuda setempat menggunakan bahasa ini untuk komunikasi sehari-hari. ”Pelajar juga sudah mulai menggunakan bahasa ini meski tak utuh,” tambahnya.
Ismaul Huda, putra Atim Nawawi, salah satu pencetus Bahasa Jimirosa mengungkapkan, hingga saat ini ia dan keluarganya masih memakai bahasa Jimirosa untuk berniaga sepeda. ”Masih bertahan. Semua anggota keluarga kami memahami bahasa ini. Termasuk bahasa keseharain,” katanya sembari menyebut beberapa kalimat utuh menggunakan Bahasa Jimirosa.

Sudah Menjadi Bahasa Umum, Mulai Ditinggalkan Pedagang Sepeda

Sudah hampir empat puluh tahun lahir, Bahasa Jimirosa mulai menjadi bahasa umum bagi masyarakat Mojosari. Sejalan dengan itu, bahasa ini mulai ditinggalkan kelompok pencetusnya. Lantas apa sebabnya? Seputar Indonesia kembali menelusurinya.

LAHIR di lingkungan pedagang sepeda di Pasar Dagang Sepeda (PDS) Mojosari, bahasa Jimirosa memang tak asing bagi para pegiat niaga di wilayah itu. Bahkan saat Seputar Indonesia bertanya kepada salah satu pedagang, mereka berkelakar dengan menjawabnya menggunakan bahasa ini. ”Rocak pii?,” tanya salah satu pedagang yang artinya ”cari apa”.
Adalah Yusuf, warga Dusun Jurangsari, Desa Belahan Tengah, Kecamatan Mojosari. Pria berusia 61 tahun itu menjadi salah satu saksi dan pelaku bagaimana bahasa Jimirosa pernah menjadi bahasa wajib baginya dan pedangan sepeda lainnya. Pedagang yang sudah 30 tahun menghuni tempat itu lantas menceritakan bagaimana perjalanan bahasa Jimirosa hingga saat ini.
Meski terlahir di tempat itu, bahasa Jimirosa pelan-pelan kini mulai ditinggalkan para pedagang. Ada beberapa alasan kenapa mereka mulai menanggalkan bahasa yang mulanya menjadi sandi harga bagi para pedagang ini. ”Alasan pertama, bahasa Jimirosa sudah menjadi bahasa umum bagi masyarakat Mojosari,” aku Yusuf.
Karena sudah menjadi bahasa umum, sandi harga itu tak lagi berlaku. Ia mengaku beberapa kali ditegur pembeli saat dirinya menggunakan bahasa ini dengan salah satu pelayan tokonya. ”Malah kami didamprat. Dikira kami akan menipu dengan menggunakan bahasa ini. Ini berkaitan dengan kepercayaan pembeli,” katanya.
Dua alasan itulah yang membuatnya berpikir dua kali untuk memakai bahasa ini dalam berniaga. Karena ia tak mau pembelinya lari gara-gara curiga dengan permainan harga dengan model komunikasi bahasa aneh ini. ”Malah jika tak ada pembeli, kami menggunakan bahasa ini dengan sesama pedagang,” tukasnya.
Mashudi, pedagang sepeda lainnya di PDS Mojosari tak menampik fakta ini. Bahkan, dirinya mengaku kapok karena banyak pembeli yang urung membeli sepeda gara-gara secata tak sengaja ia menggunakan bahasa ini dengan anak buahnya. ”Memang itulah alasannya, kenapa pedagang di sini (PDS) banyak yang tak berani memakai bahasa ini saat berjualan,” tegas Mashudi.
Kendati demikian, ia mengaku jika bahasa Jimirosa tetap saja dipakai para pedagang. Namun, harus berhati-hati jika menggunakan bahasa ini. ”Memang sulit meningalkan kebiasaan itu. Tapi kami memakainya dengan melihat situasi. Kalau meninggalkan total, jujur kami merasa kesulitan. Karena sudah puluhan tahun memakai bahasa ini sehari-hari,” tukasnya.
Bahasa Jimirosa memang sudah tak lagi ”aman” bagi pedagang sepeda di PDS Mojosari. Di luar itu, bahasa ini malah banyak diminati. Salah satunya adalah komunitas para sopir di eks terminal Mojosari di Jalan Pemuda. Bahasa ini juga menjadi bahasa komunikasi wajib bagi mereka yang bergelut di bisnis angkutan.
Suyadi, salah satu sopir bus jurusan Mojokerto – Pasuruan, adalah salah satu orang yang masih memakai bahasa ini sehari-hari. Tapi, penggunaan bahasa ini bukan lantaran ingin mengelabuhi penumpangnya soal tarif. ”Semua sopir pakai bahasa ini. Jadi secara tak sengaja saya katut (ikut-ikutan),” ujar Suyadi.
Secara jujur, ia mengaku jika bahasa Jimirosa menjadi bahasa yang unik. Lantaran itu, saat menggunakannya, ia merasa menjadi orang ”lebih”. Apalagi jika banyak penumpang yang menyaksikan dirinya dan kenek berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ini. ”Kadang juga dipakai ngrasani penumpang. Kalau ada penumpang yang cantik, saya bisa menyindirnya dengan kenek. Untuk isenglah,” kelakarnya.
Banyaknya sopir angkutan luar kota yang memanfaatkan bahasa ini, tentu saja memperlebat ruang sosialisasi. Menurut Suyadi, sejumlah sopir dan kenek luar kota pun banyak yang mengikutinya. ”Awalnya mereka penasaran dan merasa risih jika kita menggunakan bahasa ini. Tapi mereka akhirnya juga belajar,” tukasnya.

(tritus julan)
Dari Blog : http://tritus.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment

Terimakasih atas komentar anda pada BLOG milik aku